BAB I
PENDAHULUAN
Secara historis perkembangan zaman
yang semakin maju dalam bidang tekhnologi dan ilmu pengetahuan memberikan
dampak perubahan terhadap kondisi sosial, keyakinan dan menghasilkan
pemikiran-pemikiran yang kritis terhadap kondisi yang terjadi. Selain itu pengaruh
perkembangan zaman modern juga masuk ke dalam ranah islam sehingga menghasilkan
pemikiran-pemikiran islam modern, salah satunya yaitu Seyyed Hoessein Nasr.
Seyyed Hossein Nasr adalah salah
satu di antara pemikir muslim pada abad ke-20 yang menaruh perhatian terhadap
perlunya kembali menghidupkan nilai-nilai tradisional (tasawuf) sebagai tawaran
alternatif untuk penyembuhan krisis batiniah yang dihadapiu oleh manusia
modern.
Dalam dunia Islam, perhatian yang
paling banyak pada umumnya ditujukan kepada usaha-usaha kebangkitan di bidang
peradaban. Perhatian ini muncul atas dasar pandangan bahwa umat Islam telah
jauh tertinggal di bidang tersebut dibandingkan dengan Barat. Penjelasan dari
pandangan ini adalah munculnya anggapan dikalangan kaum muslim bahwa
nilai-nilai tradisional (tasawuf) merupakan penyebab hilagnya dinamika Islam,
bahkan juga dipandang sebagai penyebab kuatnya dominasi Barat atas dunia Islam
memiliki akar dalam sufisme.
Nasr melihat bahwa pandangan ini
tidaklah benar, karena penolakan terhadap sufisme dan mengkambinghitamkannya
sebagai penyebab kemunduran, mengakibatkan Islam direduksi hingga hanya
tertinggal sebgai doktrin syari’at yang kaku, dan pada akhirnya syari’at itu
sendiri tidak bedaya menghadapi ”serangan intelektual yang bertubi-tubi” dari
Barat.
Makalah ini akan mencoba
memaparkan tentang pemikiran-pemikiran Nasr terhadap perkembangan dunia Barat
dan memberikan jalur alternative untuk menghadapi majunya perkembangan dunia
Barat terhadap umat islam, agar umat islam tidak mengalami krisis batiniah.
BAB II
PEMBAHASAN
A. BIOGRAFI SEYYED HOESSEIN NASR
1. Latar Belakang dan Pendidikan S.H. Nasr
Seyyed Hoessein Nasr dilahirkan di
kota Teheran, Iran pada tanggal 7 April 1933. Beliau berasal dari keluarga
ilmuwan dan fisikawan tradisional. Guru pertamanya adalah ayahnya sendiri yang merupakan
seorang praktisi pengobatan, sarjana sastra, ulama dan pendidik yang terkenal
pada masa dinasti Qajar bernama Seyyed Valiullah Nasr. Cara-cara tradisional yang
diajarkan oleh ayahnya mempengaruhi perkembangan intelektualnya.
Bagi Nasr, Barat merupakan wilayah
ilmu pengetahuan dan teknologi yang memiliki keberhasilan dan kemajuan. Pada
tahun 1946, ia mengawali pendidikannya di Peddie School di Highstown, New
Jersey. Kemudian ia melanjutkan pendidikan menengahnya hingga lulus dari Peddie
dengan penghargaan dan sebagai pemberi sambutan atas nama kelasnya pada tahun 1950.
Pada tahun yang sama, ia juga mengawali pendidikan tingginya dalam bidang
fisika dan matematika di salah satu universitas Amerika paling bergengsi yaitu
di Massacheussetts Institute of Technology (M.I.T), di mana ia menjadi murid
terkemuka, dengan menunjukkan bakatnya dalam studi sains.
Pada tahun 1956 Nasr berhasil
meraih gelar master di MIT dalam bidang geologi yang fokus pada geofisika.
Belum puas dengan hasil karyanya, beliau menulis disertasi tentang sejarah ilmu
pengetahuan dengan melanjutkan studi di Harvard University. Dalam penyusunan
disertasi, Nasr dibimbing oleh George Sarton. Belum selesai disertasi yang
dikerjakan oleh Nasr, George Sarton meninggal dunia, sehingga Nasr mencari
pembimbing yang baru. Nasr mendapatkan pembimbing tiga orang professor yaitu Bernard Cohen, Hammilthon
Gibb dan Harry Wolfson. Disertasi tersebut selesai dengan judul “Conceptions of
Nature in Islamic Thought” yang kemudian dipublikasikan oleh Harvard University
Press pada tahun 1964 dengan judul “An Introduction to Islamic Cosmological
Doctrines”. Pada tahun 1958, ia menerima gelar Philosophy of Doctor (Ph.D).
Setelah mendapatkan gelar
doktornya, Nasr kembali ke Teheran dan mengajar di Universitas Teheran. Selain itu juga sebagai
dekan Fakultas Sastra. Pada tahun 1979, terjadi revolusi di Iran yang berakhir
dengan tersingkirnya Reza Pehlevi, ketika itu Nasr masih menjabat sebagai
direktur Imperial Iranian, Academy of Philosophy, yaitu suatu jabatan yang
bergengsi yang mengantarkannya untuk menerima gelar kebangsaan dari sang raja.
Kedekatannya dengan penguasa
mengakibatkan dirinya termasuk sebagai daftar hitam (black list) oleh para aktivis
yang menentang ajaran Syah Reza Pehlevi. Semenjak itu, Nasr keluar dari lembaga
yang diikutinya, yaitu Husainiya al Irsyad.
2. Karya-Karya S.H. Nasr
S.H. Nasr dikenal luas sebagai
pengarang sejumlah buku dan artikel yang laris. Lebih dari 50 buku dan 500
artikel yang ditulisnya telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa
diantaranya adalah Man and Nature : Spiritual Crisis of Modern Man (Kazi
Publications, 1998), religion and The Order of Nature (Oxford, 1996) dan
Knowledge and The Sacred (Suny, 1989). Karyanya yang pertama yaitu An
Introduction to Islamic Cosmological Doctrines (1964).
Buku lain yang dikarang oleh S.H
Nasr adalah Science and Civilization in Islam, (1968) yang diberi kata
pengantar oleh Giorgio Di Santillana. Dalam buku ini Nasr berbicara tentang
system pengajaran dan lembaga-lembaga islam tradisional. Ia memberikan
penjelasan historis sains dalam budaya islam, yaitu kosmologi, kosmografi,
geografi, sejarah alam, fisika, matematika, astronomi, kedokteran dan kimia.
Nasr menegaskan bahwa dalam peradaban tradisional, sains merupakan bagian dan
bidang alam suci yang ada. Nasr juga
menentang pengulangan dan peniruan buta terhadap sains modern oleh orang-orang
muslim yang tidak memperhatikan konsekuensi-konsekuensi tindakan tersebut bagi
islam dan kehidupan muslim.
B. DASAR PEMIKIRAN SEYYED HOESSEIN NASR
Dasar pola pemikiran Nasr yaitu post modernis
noe-modernis atau neo/sufisme. Dapat dikatakan berpola pemikiran post modernis
karena banyak mengkritisi pemikir-pemikir modernis islam seperti M. Abduh, Al Afghani, Amir Ali,
Ahmad Khan sebagai pengemban budaya barat dan sekulerisme. Berpikiran
neomodernis karena mengkritisi Barat dengan segala aspeknya dan menampilkan
kembali warisan pemikiran islam sebagai solusi atas modernitas yang dimotori
barat. Berpikiran sebagai neo-sufisme karena sebagai bukti pemikir seorang sufi
yang menerima pluralisme dan perenialisme
(kekekalan) sebagai wujud nyata pemikiran sufinya.
Pemikiran Nasr dibagi menjadi empat periodesasi, yaitu :
Periode
pertama terjadi pada tahun 1960 an. Pemikiran pada periode ini dapat
dilihat dari karyanya yaitu: tradisionalis yang memaparkan tentang pandangan dari pemikir klasik. Di akhir tahun
1960-an Nasr memaparkan kritiknya terhadap Barat, yaitu mengkritisi atas
realitas kemanusiaan modern, tertulis dalam karyanya yaitu Man and
Nature:the spiritual crisis of Modern Man (1986). Yang membicarakan tentang
krisis spiritual manusia modern dengan salah satu bukti yaitu menusia modern
telah memperlakukan alam sekitar dengan semena-mena. Hal ini merupakan
peringatan untuk Negara berkembang yang telah terancm modernisasi dan
globalisasi.
Periode
kedua terjadi pada tahun 1970-an. Nasr semakin mempertajam kritiknya
terhadap dunia modern dengan menawarkan alternatif keluar dari krisis
modernitas dengan memperkenalkan tasawuf yang merupakan bentuk kongkrit dari
pemikirannya. Hal ini dipaparkan dalam bukunya Sufi Essay (1972), Islam
and Plight Modern Man (1976). Tulisan
Nasr dalam bukunya merupakan tulisan yang propokatif dan penuh keprihatinan
yang membicarakan masalah yang dihadapi oleh para muslim modern.
Dan
pada periode ketiga, terjadi pada tahun 1980-an. Nasr banyak menuangkan
gagasannya secara kongkrit sebagai alternatif hidup di dunia modern. Ia banyak
mengkritik para muslim modernis yang dianggapnya sebagai pengemban pemikiran
modern barat yang sekuler, seperti Muhammad Abduh, Al Afghani, Amir Ali dan
Ahmad Khan. Selain mereka, ada juga gerakan Wahabiyyah yang menurutnya membunuh
tasawuf , sebab dianggap sebagai biang kemunduran umat Islam. Hal ini oleh Nasr
ditulis dalam bukunya yang berjudul Islamic Life and Thought (1981), Knowledge and The Sacred (1981).
Pada
periode terakhir, tahun 1990-an, Nasr menggagas tindakan nyata tentang
teori-teori dan pendapatnya dengan lebih fokus mengarahkan pandangan
sufistiknya menjadi praktis dalam kehidupan modern seperti dalam karyanya,
yaitu Religion and Religion : The Challenge of Living in a Multireligious
World (1991) yang juga mengutarakan gagasannya tentang penemuan dan
kerukunan antar agama yang didasarkan pada filsafat perennial.
C. TUJUAN PEMIKIRAN SEYYED HOSSEIN NASR
1. Kritik Terhadap Barat
Dalam beberapa karyanya, Nasr
banyak meneliti dan mengkritik Barat. Dia menyatakan bahwa kehidupan modern
yang berkembang di Barat sejak zaman renaissance adalah sebuah eksperimen yang
mengalami kegagalan sedemikian parahnya sehingga umat manusia merasa ragu
apakah akan menemukan cara-cara lain di masa yang akan datang. Menurut Nasr,
kegagalan ini adalah kesalahan konsep yang melandasinya.
Nasr juga mengkritik proses
pembaratan yang saat ini sudah mencapai puncaknya. Terutama dalam moral,
politik, ekonomi, dan sains. Kejadian ini berlangsung secara mengejutkan, apalagi
dengan adanya iptek, peradaban Barat sudah dapat dipastikan. Nasr mengamati
kejadian ini sebagai bencana yang mengancam kehidupan manusia. Menurutnya,
manusia modern hidup di pinggir lingkaran eksistensinya sehingga ia hanya dapat
melihat dari sudut pandangannya sendiri yang terbatas tanpa melihat sudut
pandang dari pusat lingkaran eksistensinya. Padahal ia dapat mencapainya dari
jari-jari lingkaran. Manusia modern tidak akan melakukan penelusuran metafisis,
karena mereka telah terjebak dalam pola pikiran yang empiris dan pragmatis
dalam melihat sesuatu.
Menurut pengamatan Nasr, adanya
dunia modern ditandai dengan kecemasan terhadap bahaya perang, krisis ekologi,
polusi udara dan air. Semua masalah dan krisis peradaban modern bukan berasal
dari keterbelakangan, melainkan dari populasi jiwa manusia yang muncul begitu
manusia Barat mengambil alih peran ketuhanan di bumi dengan menyingkirkan
dimensi Ilahi dari kehidupan.
2. Pandangan Islam Tentang Alam
Nasr menyatakan, pandangan Islam
tentang tatanan lingkungan alam terdapat dalam al-Qur’an. Terdapat dalam suatu
pengertian, bahwa pesan al-Qur’an berarti kembali pada pesan primodial tuhan
kepada manusia. Karena itulah Islam disebut dengan agama primodial (al din al
hanif), al-Qur’an sebagai kitab suci agama primodial tidak hanya berbicara
kepada manusia saja, melainkan kepada seluruh alam. Sementara itu, dalam ayat
tertentu, Tuhan menjadikan anggota-anggota non-manusia untuk menjadi saksi.
Nasr menyatakan, bahwa al-Qur’an melukiskan
bentuk alam yang tidak terbilang kekayaannya, yang menyimpan berbagai macam
kualitas Ilahi. Tetapi, pada saat yang sama, alam juga menyibakkan
kualitas-kualitas itu bagi mereka yang mata hatinya belum dibutakan oleh ego
dan nafsu. Nasr mengatakan bahwa kecintaan Islam terhadap lingkungan alam tidak
boleh dikacaukan dengan naturalism
seperti dalam filsafat dan teologi Barat.
3. Pandangan Islam Tentang Manusia
Dalam islam, telah dijelaskan
bahwa Tuhan menciptakan manusia sebagai wakil di muka bumi (khalifah), dan
secara eksplisit ditegaskan dalam al-Qur’an, yaitu pada Q.S Al-Baqarah, 30 :
وَإِذْ
قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الأرْضِ خَلِيفَةً قَالُوا أَتَجْعَلُ
فِيهَا مَنْ يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ
وَنُقَدِّسُ لَكَ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لا تَعْلَمُونَ (٣٠)
Artinya : ingatlah
ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: "Sesungguhnya aku hendak
menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa
Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat
kerusakan padanya dan menumpahkan darah, Padahal Kami Senantiasa bertasbih
dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman:
"Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."
Nasr menyatakan, bahwa menjadi
manusia berarti menyadari akan tanggung jawab yang melekat dalam status wakil
Tuhan yang dalam al-Qur’an dinyatakan bahwa Tuhan telah “menundukkan” ala bagi manusia. Sebagaimana yang tercantum
dalam Q.S al Hajj ayat 65, yaitu :
أَلَمْ
تَرَ أَنَّ اللَّهَ سَخَّرَ لَكُمْ مَا فِي الأرْضِ وَالْفُلْكَ تَجْرِي فِي الْبَحْرِ
بِأَمْرِهِ وَيُمْسِكُ السَّمَاءَ أَنْ تَقَعَ عَلَى الأرْضِ إِلا بِإِذْنِهِ إِنَّ
اللَّهَ بِالنَّاسِ لَرَءُوفٌ رَحِيمٌ (٦٥)
Artinya : Apakah
kamu tiada melihat bahwasanya Allah menundukkan bagimu apa yang ada di bumi dan
bahtera yang berlayar di lautan dengan perintah-Nya. dan Dia menahan
(benda-benda) langit jatuh ke bumi, melainkan dengan izin-Nya? Sesungguhnya
Allah benar-benar Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia.
Penaklukan yang dimaksud adalah
bukan berarti penaklukan alam seperti yang biasanya diklaim oleh sejumlah kaum
muslim modern yang haus dengan kekuasaan seperti yang dijanjikan oleh ilmu pengetahuan
modern kepada mereka. Tetapi, penaklukan di sini adalah segala apa yang ada di
bumi diperbolehkan atas manusia, yang sesuai dengan hukum-hukum Tuhan dan itu
diperbolehkan karena manusia adalah wakil Tuhan di muka bumi.
4. Spiritualisme dan Sufisme
Nasr berpendapat bahwa salah satu
problem manusia adalah berkaitan dengan spiritualisme dan sufisme. Beliau
memiliki pandangan postif terhadap spiritualisme yaitu penilaian terhadap salah
satu kemunduran umat islam pada kekeringan batin manusia yang melanda manusia
modern selama ini, sehingga doktrin-doktrin fikih yang kaku tidak mampu
menghadapi serangan yang dilakukan oleh masyarakat Barat.
Pada sisi sufisme, Nasr
menganggap bahwa sufisme mampu memberikan jalan untuk penyembuhan yang
dibutuhkan oleh manusia modern, yaitu mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan
batiniah yang tidak mereka temukan dalam agama kristen atau budha, melalui
jalan ajaran tasawuf pada agama islam.
Nasr menjelaskan bahwa sufisme
bukanlah tradisi yang berdiri sendiri, melainkan merupakan bagian dari islam.
Menurut Nasr, sufisme adalah permata di atas mahkota dari tradisi islam.
Terdapat tiga tujuan yang
dijelaskan Nasr dalam mengenalkan sufisme kepada masyarakat Barat, yaitu :
a.
Menyelamatkan
manusia dari kondisi yang membingungkan sebagai akibat hilangnya nilai-nilai
spiritual.
b.
Memperkenalkan
aspek esoteris islam baik terhadap masyarakat islam maupun masyarakat barat.
c.
Menegaskan
kembali bahwa aspek sufisme dalah jantung dari ajaran islam sehingga apabila
wilayah ini kering dan tidak berdenyut lagi, maka keringlah aspek-aspek ajaran
islam yang lainnya.
D. Apresiasi Pemikiran Seyyed Hoessein Nasr
PemikiranNasr
tentang tradisionalisme islam yang cenderung berpikir Posmodernis, Neo-modernis,dan
Neo-Sufisme bertujuan untuk mengisi atau menjawab kekeringan batin yang
dialami oleh masyarakat modern yang tidak ditemukan dalam ajaran agama yang
mereka anut. Nasr merasa bahwa masyarakat modern mengalami krisis spiritual
ditengah-tengah peradaban yang maju akan ilmu pengetahuan dan tekhnologinya. Untuk
mengatasinya agar memiliki keseimbangan antara akal dan batin, Nasr menawarkan
pendapatnya yaitu dengan mengenalkan ajaran
tasawuf. Ajaran yang dikenalkannya diseimbangkan dengan kondisi lahir dan batin
masyarakat modern, agar ajarannya dapat diterima dan dilakukan dalam kehidupan
sehari-hari.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Seyyed Hossein Nasr dilahirkan di kota
Teheran, Iran pada tanggal 7 April 1933, dari keluarga yang terpelajar. Seyyed
Hossein Nasr merupakan salah satu ilmuwan terkemuka dunia dalam bidang ilmu
pengetahuan Islam dan spiritualitas. Ia adalah tokoh intelektual yang sangat
dihormati, baik di Barat maupun dunia Islam. Ia juga dikenal luas sebagai
pengarang.
Seyyed Hosein Nasr memiliki banyak
sekali pemikiran yang pola pemikirannya terbagi
menjadi empat priode yaitu periode 1960-an, 1970-an, 1980-an, 1990-an. Priode
pertama mengkaji tentang konsep kosmologi tradisionalis yang memaparkan
tentang pandangan metafisis (penyelidikan watak) dari pemikir klasik
seperti Ikhwan al-Shafa, Ibn Sina dan al-Biruni. Priode kedua berupa
kritik Nasr terhadap dunia modern semakin dipertajam dengan menawarkan
alternatif keluar dari krisis modernitas dengan memperkenalkan tasawuf yang
merupakan bentuk kongkrit dari pemikirannya. Priode ketiga ia banyak
menuangkan gagasannya secara kongkrit sebagai alternatif hidup di dunia modern.
Ia banyak mengkritik para Muslim modernis yang dinilai sebagai pengemban
pemikiran modern Barat yang sekular. Seperti contoh Muhammad Abduh, Al-Afghani,
Amir Ali dan Ahmad Khan. Priode ke empat Nasr menggagas tindakan nyata
tentang teori-teori dan pendapatnya dengan lebih fokus mengarahkan pandangan
sufistiknya menjadi praktis dalam kehidupan modern, dan ia juga mengutarakan
gagasannya tentang peremuan dan kerukunan antar agama yang didasarkan pada
filsafat perennial.
Pemikiran Nasr dimasukan ke dalam
beberapa model berfikir yaitu posmodernis, neo-modernis, atau neo-sufisme.
Dikatakan posmodernis karena banyak mengkritisi pemikir-pemikir modernis Islam
seperti Abduh, Al-Afgani, Amir Ali dan Ahmad Khan sebagai pengemban budaya
Barat dan sekulerismenya. Neo-modernis karena mengkritisi Barat dengan
segala aspeknya, dan menampilkan kembali warisan pemikiran Islam sebagai solusi
atas modernitas yang dimotori oleh Barat tersebut. Sebagai neo-sufisme yaitu
dengan bukti sebagai seorang pemikir sufi yang menerima pluralisme dan
perenialisme (kekekalan) sebagai wujud nyata pemikiran sufinya.